Senin, 24 Oktober 2016

RATU SHIMA





KERAJAAN KALINGGA

Kerajaan Kalingga termasuk salah satu  kerajaan tertua di Nusantara, kata lain Kalingga atau Ho-ling (sebutan dari sumber Tiongkok) adalah sebuah kerajaan bercorak Hindu yang muncul di Jawa Tengah sekitar abad ke-6 masehi. Letak pusat kerajaan ini belumlah jelas, kemungkinan berada di suatu tempat antara Kabupaten Pekalongan dan Kabupaten Jepara sekarang. Sumber sejarah kerajaan ini masih belum jelas dan kabur, kebanyakan diperoleh dari sumber catatan Tiongkok, tradisi kisah setempat, dan naskah Carita Parahyangan yang disusun berabad-abad kemudian pada abad ke-16 menyinggung secara singkat mengenai Ratu Shima dan kaitannya dengan Kerajaan Galuh. Kalingga telah ada pada abad ke-6 Masehi dan keberadaannya diketahui dari sumber-sumber Tiongkok. Kerajaan ini pernah diperintah oleh Ratu Shima, yang dikenal memiliki peraturan barang siapa yang mencuri, akan dipotong tangannya.

Catatan sejarah mengenai keberadaan Kerajaan Kalingga didapatkan dari dua sumber utama, yaitu dari kronik sejarah Tiongkok, serta catatan sejarah manuskrip lokal, ditambah dengan tradisi lisan setempat yang menyebutkan mengenai Ratu legendaris bernama Ratu Shima.

Berdasarkan naskah Carita Parahyangan yang berasal dari abad ke-16, putri Maharani Shima, Parwati, menikah dengan putera mahkota Kerajaan Galuh yang bernama Mandiminyak, yang kemudian menjadi raja kedua dari Kerajaan Galuh. Maharani Shima memiliki cucu yang bernama Sanaha yang menikah dengan raja ketiga dari Kerajaan Galuh, yaitu Bratasena. Sanaha dan Bratasena memiliki anak yang bernama Sanjaya yang kelak menjadi raja Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh (723-732 M).

Setelah Maharani Shima meninggal pada tahun 732 M, Ratu Sanjaya menggantikan buyutnya dan menjadi raja Kerajaan Kalingga Utara yang kemudian disebut Bumi Mataram, dan kemudian mendirikan Dinasti/Wangsa Sanjaya di Kerajaan Mataram Kuno.

Kekuasaan di Jawa Barat diserahkannya kepada putranya dari Tejakencana, yaitu Tamperan Barmawijaya alias Rakeyan Panaraban. Kemudian Raja Sanjaya menikahi Sudiwara puteri Dewasinga, Raja Kalingga Selatan atau Bumi Sambara, dan memiliki putra yaitu Rakai Panangkaran.

Pada abad ke-5 muncul Kerajaan Ho-ling (atau Kalingga) yang diperkirakan terletak di utara Jawa Tengah. Keterangan tentang Kerajaan Ho-ling didapat dari prasasti dan catatan dari negeri Cina. Pada tahun 752, Kerajaan Ho-ling menjadi wilayah taklukan Sriwijaya dikarenakan kerajaan ini menjadi bagian jaringan perdagangan Hindu, bersama Malayu dan Tarumanagara yang sebelumnya telah ditaklukan Sriwijaya. Ketiga kerajaan tersebut menjadi pesaing kuat jaringan perdagangan Sriwijaya-Buddha.

Kisah Lokal

Terdapat kisah yang berkembang di Jawa Tengah utara mengenai seorang Maharani legendaris yang menjunjung tinggi prinsip keadilan dan kebenaran dengan keras tanpa pandang bulu. Kisah legenda ini bercerita mengenai Ratu Shima yang mendidik rakyatnya agar selalu berlaku jujur dan menindak keras kejahatan pencurian. Ia menerapkan hukuman yang keras yaitu pemotongan tangan bagi siapa saja yang mencuri. Pada suatu ketika seorang raja dari seberang lautan mendengar mengenai kemashuran rakyat kerajaan Kalingga yang terkenal jujur dan taat hukum. Untuk mengujinya ia meletakkan sekantung uang emas di persimpangan jalan dekat pasar. Tak ada sorang pun rakyat Kalingga yang berani menyentuh apalagi mengambil barang yang bukan miliknya. Hingga tiga tahun kemudian kantung itu disentuh oleh putra mahkota dengan kakinya. Ratu Shima demi menjunjung hukum menjatuhkan hukuman mati kepada putranya. Dewan menteri memohon agar Ratu mengampuni kesalahan putranya. Karena kaki sang pangeranlah yang menyentuh barang yang bukan miliknya, maka sang pangeran dijatuhi hukuman dipotong kakinya.

Catatan dari zaman Dinasti Tang

Cerita Cina pada zaman Dinasti Tang (618 M - 906 M) memberikan tentang keterangan Ho-ling atau disebut Jawa terletak di Lautan Selatan. Di sebelah utaranya terletak Ta Hen La (Kamboja), di sebelah timurnya terletak Po-Li (Pulau Bali) dan di sebelah barat terletak Pulau Sumatera.
Ibukota Ho-ling dikelilingi oleh tembok yang terbuat dari tonggak kayu.
Raja tinggal di suatu bangunan besar bertingkat, beratap daun palem, dan singgasananya terbuat dari gading.
Penduduk Kerajaan Ho-ling sudah pandai membuat minuman keras dari bunga kelapa
Daerah Ho-ling menghasilkan kulit penyu, emas, perak, cula badak dan gading gajah.
Catatan dari berita Cina ini juga menyebutkan bahwa sejak tahun 674, rakyat Ho-ling diperintah oleh Ratu Hsi-mo (Shima). Ia adalah seorang ratu yang sangat adil dan bijaksana. Pada masa pemerintahannya Kerajaan Ho-ling sangat aman dan tentram.


Catatan I-Tsing

Catatan I-Tsing (tahun 664/665 M) menyebutkan bahwa pada abad ke-7 tanah Jawa telah menjadi salah satu pusat pengetahuan agama Buddha Hinayana. Di Ho-ling ada pendeta Cina bernama Hwining, yang menerjemahkan salah satu kitab agama Buddha ke dalam Bahasa Tionghoa. Ia bekerjasama dengan pendeta Jawa bernama Janabadra. Kitab terjemahan itu antara lain memuat cerita tentang Nirwana, tetapi cerita ini berbeda dengan cerita Nirwana dalam agama Buddha Hinayana.

Peninggalan

Prasasti Tukmas

Hasil gambar untuk prasasti tukmas kerajaan kalingga

Prasasti Tukmas ditemukan di ditemukan di lereng barat Gunung Merapi, tepatnya di Dusun Dakawu, Desa Lebak, Kecamatan Grabag, Magelang di Jawa Tengah. Prasasti bertuliskan huruf Pallawa yang berbahasa Sanskerta. Prasasti menyebutkan tentang mata air yang bersih dan jernih. Sungai yang mengalir dari sumber air tersebut disamakan dengan Sungai Gangga di India. Pada prasasti itu ada gambar-gambar seperti trisula, kendi, kapak, kelasangka, cakra dan bunga teratai yang merupakan lambang keeratan hubungan manusia dengan dewa-dewa Hindu.

Prasasti Sojomerto

























Prasasti Sojomerto ditemukan di Desa Sojomerto, Kecamatan Reban, Kabupaten Batang, Jawa Tengah. Prasasti ini beraksara Kawi dan berbahasa Melayu Kuna dan berasal dari sekitar abad ke-7 masehi. Prasasti ini bersifat keagamaan Siwais. Isi prasasti memuat keluarga dari tokoh utamanya, Dapunta Selendra, yaitu ayahnya bernama Santanu, ibunya bernama Bhadrawati, sedangkan istrinya bernama Sampula. Prof. Drs. Boechari berpendapat bahwa tokoh yang bernama Dapunta Selendra adalah cikal-bakal raja-raja keturunan Wangsa Sailendra yang berkuasa di Kerajaan Mataram Hindu. Kedua temuan prasasti ini menunjukkan bahwa kawasan pantai utara Jawa Tengah dahulu berkembang kerajaan yang bercorak Hindu Siwais. Catatan ini menunjukkan kemungkinan adanya hubungan dengan Wangsa Sailendra atau kerajaan Medang yang berkembang kemudian di Jawa Tengah Selatan.


Candi dan situs bersejarah

Candi Angin 
Hasil gambar untuk candi angin kerajaan kalingga

Candi Angin ditemukan di Desa Tempur, Kecamatan Keling, Kabupaten Jepara, Jawa Tengah.
Candi Bubrah Candi Bubrah ditemukan di Desa Tempur, Kecamatan Keling, Kabupaten Jepara, Jawa Tengah.
Situs Puncak Sanga Likur Gunung Muria. Di Puncak Rahtawu (Gunung Muria) dekat dengan Kecamatan Keling di sana terdapat empat arca batu, yaitu arca Batara Guru, Narada, Togog, dan Wisnu. Sampai sekarang belum ada yang bisa memastikan bagaimana mengangkut arca tersebut ke puncak itu mengingat medan yang begitu berat. Pada tahun 1990, di seputar puncak tersebut, Prof Gunadi[4] dan empat orang tenaga stafnya dari Balai Arkeologi Nasional Yogyakarta (kini Balai Arkeologi Yogyakarta) menemukan Prasasti Rahtawun. Selain empat arca, di kawasan itu ada pula enam tempat pemujaan yang letaknya tersebar dari arah bawah hingga menjelang puncak. Masing-masing diberi nama (pewayangan) Bambang Sakri, Abiyoso, Jonggring Saloko, Sekutrem, Pandu Dewonoto, dan Kamunoyoso.


Mengenal Ratu Shima
























Shima adalah ratu penguasa Kerajaan Kalingga yang terletak di pantai utara Jawa Tengah sekitar tahun 674 M, , lahir tahun 611 M di sekitar Musi Banyuasin, Sumatera Selatan dan isteri Raja Kartikeyasinga yang menjadi raja Kalingga (648 - 674) M . Ketika suaminya, Raja Kartikeyasinga meninggal, Sang Ratu naik tahta Kerajaan Kalingga dengan gelar Sri Maharani Mahissasuramardini Satyaputikeswara.

Maharani/ Ratu Sima atau Shima putri Hyang Syailendra putra Santanu (Sriwijaya) 
adalah istri Raja Kalingga Kartikeyasinga, Ayahanda Kartikeyasinga adalah Raja Kalingga (632-648) M. Sementara itu ibunda Kartikeyasinga berasal dari Kerajaan Melayu Sribuja yang beribukota di Palembang. Raja Melayu Sribuja – yang dikalahkan Sriwijaya tahun 683 M – adalah kakak dari ibunda Prabu Kartikeyasinga. Ratu Sima adalah putri seorang pendeta di wilayah Sriwijaya. Ia dilahirkan tahun 611 M di sekitar wilayah yang disebut Musi Banyuasin. Ia adalah istri pangeran Kartikeyasingha (sebelum jadi raja) yang merupakan keponakan dari Kerajaan Melayu Sribuja. Ia kemudian tinggal di daerah yang dikenal sebagai wilayah Adi Hyang (Leluhur Agung), atau yang sekarang bernama Dieng. Perkawinan Kartikeyasingha dengan Sima melahirkan dua orang anak, yaitu Parwati dan Narayana (Iswara). Ratu Sima adalah pemeluk Hindu Syiwa yang taat.

Parwati anak Ratu Shima, menikah dengan putera mahkota Kerajaan Galuh yang bernama Sang Jalantara atau Rahyang Mandiminyak dan menjadi raja Kerajaan Galuh ke-2 dengan gelar Prabu Suraghana (702-209) M dan berputri Dewi Sanaha. Dewi Sanaha dan Bratasenawa atau Prabu Sanna menikah memiliki anak yang bernama Sanjaya, Rakai Mataram (723 - 732M) yang kemudian 703 /704 M, Sanjaya menikahi Dewi Sekar Kancana (Teja Kancana Ayupurnawangi) putri Rakyan Sundasembawa (mati muda) putra Sri Maharaja Tarusbawa, cucu Sri Maharaja Tarusbawa dari Kerajaan Sunda sehingga Maharaja Harisdarma sempat menjadi raja Kerajaan Galuh (ia merebut kembali tahta Galuh tahun 723 M dari tangan Purbasora yang merebut tahta Galuh tahun 716 M dari Prabu Sanna, ayahnya) dan raja Kerajaan Sunda (menerima tahta dari kakek mertuanya, Sri Maharaja Tarusbawa) tahun 723 M sehingga ia menjadi Maharaja Sunda dan Galuh (723-732) M.

Maharaja Linggawarman, penguasa terakhir Tarumanagara (666-669) M, mempunyai 2 orang putri, yaitu yang sulung bernama Dewi Manasih menjadi istri Sri Maharaja Tarusbawa, menerima tahta Kerajaan Tarumanagara dari mertuanya, lalu mendirikan Kerajaan Sunda (669 M dan puteri yang kedua bernama Dewi Sobakancana menjadi isteri Dapunta Hyang Sri Jayanasa, yang mendirikan Kerajaan Sriwijaya (671 M.

Pemerintahan Ratu Shima

Tahun 500 M Pulau Sumatera dikuasai dua kerajaan kuat, yaitu Kerajaan Pali (Utara) dan Kerajaan Melayu Sribuja (di timur) yang beribukota Palembang. Sedangkan Kerajaan Sriwijaya baru merupakan kerajaan kecil di Jambi. Tahun 676 M Kerajaan Pali dan Mahasin (Singapura) ditaklukan Sriwijaya. Tahun 683 M, Kerajaan Sriwijaya berhasil menaklukan Kerajaan Melayu. Ekspansi Sriwijaya terhadap Kerajaan Melayu yang masih memiliki kekerabatan dengan Kalingga tentu sangat mengganggu hubungan dengan Kalingga. Maka, Sriwijaya mencoba mencairkan hubungan dengan Kerajaan Sunda dan Kalingga. Langkah diplomatik dilakukan antara Kerajaan Sriwijaya dengan Kerajaan Sunda yang sama-sama, sebagai menantu Maharaja Linggawarman dalam sebuah prasasti yang ditulis dalam dua bahasa, Melayu dan Sunda, jalinan persaudaraan dan persahabatan kemudian dikenal dengan istilah Mitra Pasamayan (inti isi perjanjiannya, untuk tidak saling menyerang dan harus saling membantu)

Kerajaan Kalingga pun ditawari persahabatan, namun Kalingga menolak karena sakit hati atas penyerangan Sriwijaya terhadap Melayu, yang merupakan kerabat Kalingga mengingat Ratu Shima -menurut sebuah pendapat- Sang Ratu dan ibunda Kartikeyasinga berasal dari wilayah Kerajaan Melayu Sribuja yang beribukota di Palembang. Ketegangan antara Sriwijaya dan Kalingga menajam sehingga keduanya sudah mempersiapkan pasukan dalam jumlah besar namun, masih dapat dilerai oleh Sri Maharaja Tarusbawa dari Kerajaan Sunda, sebagai sahabat dan kerabat sehingga Sri Jayanasa mengurungkan niatnya menyerang Kalingga, karena Kalingga adalah kerabat Kerajaan Sunda. Keadaan ini berlangsung hingga Sri Jayanasa mangkat tahun 692 M dan digantikan oleh Darmaputra (692-704).

Sang Ratu Shima, dalam pemerintahannya, Kerajaan Kalingga aman karena beralinasi dengan Kerajaan Sunda dan Galuh. Terutama karena sikap tegas dan dia sangat dicintai rakyatnya. Sang Ratu menerapkan hukum yang keras dan tegas untuk memberantas pencurian dan kejahatan, serta untuk mendorong agar rakyatnya senantiasa jujur. Tradisi mengisahkan seorang raja asing yang meletakkan kantung berisi emas di tengah-tengah persimpangan jalan dekat alun-alun ibu kota Kalingga. Raja asing ini melakukan hal itu karena ia mendengar kabar tentang kejujuran rakyat Kalingga dan berniat menguji kebenaran kabar itu. Tidak seorangpun berani menyentuh kantung yang bukan miliknya itu, hingga suatu hari tiga tahun kemudian, seorang putra Shima, sang putra mahkota secara tidak sengaja menyentuh kantung itu dengan kakinya. Mulanya Sang Ratu menjatuhkan hukuman mati untuk putranya, akan tetapi para pejabat dan menteri kerajaan memohon agar Sang Ratu mengurungkan niatnya itu dan mengampuni sang pangeran. Karena kaki sang pangeran yang menyentuh barang yang bukan miliknya itu, maka Ratu menjatuhkan hukuman memotong kaki sang pangeran.

Masa kepemimpinan Ratu Shima menjadi masa keemasan bagi Kalingga sehingga membuat Raja-raja dari kerajaan lain segan, hormat, kagum sekaligus penasaran. Masa-masa itu adalah masa keemasan bagi perkembangan kebudayaan apapun. Agama Budha juga berkembang secara harmonis, sehingga wilayah di sekitar kerajaan Ratu Shima juga sering disebut Di Hyang (tempat bersatunya dua kepercayaan Hindu Budha). Dalam hal bercocok tanam Ratu Shima juga mengadopsi sistem pertanian dari kerajaan kakak mertuanya. Ia merancang sistem pengairan yang diberi nama Subak. Kebudayaan baru ini yang kemudian melahirkan istilah Tanibhala, atau masyarakat yang mengolah mata pencahariannya dengan cara bertani atau bercocok tanam. Kerajaan Kalingga beratus tahun yang lalu bersinar terang emas penuh kejayaan. Memiliki Maharani Sang Ratu Shima nan ayu, anggun, perwira, ketegasannya semerbak wangi di banyak negeri. Pamor Ratu Shima dalam memimpin kerajaannya luar biasa, amat dicintai jelata, wong cilik sampai lingkaran elit kekuasaan. Bahkan konon tak ada satu warga anggota kerajaan pun yang berani berhadap muka dengannya, apalagi menantang. Situasi ini justru membuat Ratu Shima amat resah dengan kepatuhan rakyat, kenapa wong cilik juga para pejabat mahapatih, patih, mahamenteri, dan menteri, hulubalang, jagabaya, jagatirta, ulu-ulu, tak ada yang berani menentang sabda pandita ratunya.

Ngidam

Nyidam (mengidam) merupakan hal yang lumrah bagi wanita hamil, Siapa saja tatkala hamil seringkali merasakan yang namanya Nyidam. Bahkan, seorang ratu pun bisa merasakan nyidam saat hamil. Nyidam selalu diidentikan dengan permintaan atau keinginan yang aneh-aneh. Sehingga, seringkali membutuhkan pengorbanan untuk memenuhi nyidam itu. Meski sulit dan butuh pengorbanan nyidam harus terpenuhi, jika nyidamnya tidak terpenuhi, mitos yang beredar luas di masyarakat, konon kelak ketika si jabang bayi lahir akan selalu mengeluarkan air liur. Sebagai wanita, Ratu Shima kala tengah mengandung tujuh bulan pun mengalami sensi nyidam. Meskipun seorang ratu, Ratu Shima kala itu nyidam buah kecapi. Buah yang rame rasanya, manis-asam-segar. Meskipun seorang ratu, Ratu Shima ingin mencari dan memetik sendiri buah yang diingini itu. Ratu Shima tak ingin mengutus punggawanya mencarikan buah tersebut. Pasalnya, Ratu Shima khawatir jika mengutus punggawanya, begitu kembali ke hadapannya buah yang diingini sudah tidak segar lagi. Lantas bergegaslah Ratu Shima diikuti para punggawanya melakukan perjalanan mencari buah kecapi. Berdasarkan cerita yang dituturkan Ahmad Jayeg (45 tahun) warga Kecapi Krajan, perjalanan Ratu Shima dimulai dari suatu wilayah yang kini bernama Keling. Dari Keling rombongan berjalan kaki menuju ke arah barat. Setengah hari berjalan Ratu Shima belum juga menemukan buah yang diidamkannya itu. Beberapa desa pun sudah dilewati, tapi hasil pencariannya itu masih nihil. Saat tiba di suatu wilayah yang banyak ditumbuhi pohon rembulung, Ratu Shima beserta pengikutnya beristirahat. Kini tempat yang dijadikan peristirahatan tersebut diberi nama Desa Bulungan. Setelah rasa lelah hilang, rombongan kembali melanjutkan perjalanan ke arah selatan. Baru berjalan beberapa waktu, para punggawa Ratu Shima berteriak, "kecapi... kecapi....kecapi," berulang ulang. Ya, ternyata mereka telah menemukan sejumlah pohon kecapi yang tengah berbuah lebat. Tanpa ragu lagi, Ratu Shima segera turun dari tandunya. Bergegas memetik buah kecapi yang diidamkan itu. Oleh sebab itulah, wilayah di sebelah selatan Desa Bulungan itu kini dinamakan Desa Kecapi.

Suksesi Pemerintahan

Sebelum mangkat, Kerajaan Kalingga dibagi dua. Di bagian utara disebut Bumi Mataram/ Kalingga Utara (dirajai oleh Parwati, 695 M-716 M) bersama suaminya Rahyang Mandiminyak atau Prabu Suraghana selanjutnya Sang Sena atau Prabu Sanna. Di bagian selatan disebut Bumi Sambara/ Kalingga Selatan dirajai oleh Narayana, adik Parwati, yang bergelar Iswarakesawa Lingga Jagatnata Buwanatala' (695 M-742) M. Sanjaya (cucu Parwati) putra Prabu Sanna dengan Dewi Sanaha, cicit Maharani Shima dan Dewi Sudiwara putri Dewasinga(cucu Narayana) menjadi suami isteri. Perkawinan mereka adalah perkawinan antara sesama cicit Ratu Sima. Anak hasil perkawinan mereka bernama Rakai Panangkaran yang lahir tahun 717 M. Dialah yang di kemudian hari menurunkan raja-raja di Jawa Tengah.

Prasasti Sojomerto

Prasasti Sojomerto merupakan peninggalan Wangsa Sailendra yang ditemukan di Desa Sojomerto, Kecamatan Reban, Kabupaten Batang, Jawa Tengah. Prasasti ini beraksara Kawi dan berbahasa Melayu Kuna. Prasasti ini tidak menyebutkan angka tahun, berdasarkan taksiran analisis paleografi diperkirakan berasal dari kurun akhir abad ke-7 atau awal abad ke-8 masehi.

Prasasti ini bersifat keagamaan Siwais.Isi prasasti memuat keluarga dari tokoh utamanya, Dapunta Selendra, yaitu ayahnya bernama Santanu, ibunya bernama Bhadrawati, sedangkan istrinya bernama Sampula. Prof. Drs. Boechari berpendapat bahwa tokoh yang bernama Dapunta Selendra adalah cikal-bakal raja-raja keturunan Wangsa Sailendra yang berkuasa di Kerajaan Mataram Hindu.

Bahan prasasti ini adalah batu andesit dengan panjang 43 cm, tebal 7 cm, dan tinggi 78 cm.[9] Tulisannya terdiri dari 11 baris yang sebagian barisnya rusak terkikis usia.


Teks prasasti

1... – ryayon çrî sata ...
2.... _ â kotî
3... namah ççîvaya
4.bhatâra parameçva
5. ra sarvva daiva ku samvah hiya
6. – mih inan –is-ânda dapû
7. nta selendra namah santanû
8. namânda bâpanda bhadravati
9. namanda ayanda sampûla
10. namanda vininda selendra namah
11. mamâgappâsar lempewângih

yang di tafsirkan 

Sembah kepada Siwa Bhatara Paramecwara dan semua dewa-dewa
... dari yang mulia Dapunta Selendra
Santanu adalah nama bapaknya, Bhadrawati adalah nama ibunya, Sampula adalah nama bininya dari yang mulia Selendra.

Sang Ratu Mangkat

Ratu Sima putri Hyang Syailendra putra Santanu (Sriwijaya) mangkat tahun 695 M, 3 tahun sesudah Sri Jayanasa, Raja Sriwijaya meninggal 692 M.

Referensi :

1.http://gusdayat.com/2015/07/04/ratu-sima-ratu-kerajaan-kalingga/

2.http://en.rodovid.org/wk/Person:321868

3.Menurut Carita Parahyangan Cicit Ratu Shima adalah Sanjaya yang menjadi Raja Galuh, dan menurut Prasasti Canggal adalah pendiri Kerajaan Medang di Mataram. Berdasarkan Naskah Wangsakerta disebutkan bahwa Ratu Shima berbesan dengan penguasa terakhir Tarumanegara, yang diwarisi oleh Kerajaan Galuh dan Sunda.

4. http://akibalangantrang.blogspot.co.id/2010/04/mitra-pasamayam.html

5.Drs. R. Soekmono, (1973 edisi cetak ulang ke-5 1988). Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 2, 2nd ed. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. p. 37.

6.http://www.kompasiana.com/gusblero/maharani-shima_54f5ed6da333115b7c8b45de

7.http://jeparabaruku.blogspot.com/2013/05/puutri-shima-sang-rratu-kejujuran.html

8.a b Boechari (1966). "Preliminary report on the discovery of an Old Malay inscription at Sojomerto". MISI III: 241–251.

9.Situs Kabupaten Batang, diakses 7 Juni 2007

10.https://yoedana.wordpress.com/2011/09/15/prasasti-sojomerto/

11. https://id.wikipedia.org/wiki/Prasasti_Sojomerto

12. https://www.facebook.com/notes/arapuzo/kerajaan-kalingga/1112592305523216

AKSARA NUSANTARA





Bukti tertua mengenai keberadaan Aksara Nusantara yaitu berupa tujuh buah yupa (tiang batu untuk menambatkan tali pengikat sapi) yang bertuliskan prasasti mengenai upacara waprakeswara yang diadakan oleh Mulawarmman, Raja Kutai di daerah Kalimantan Timur. Tulisan pada yupa-yupa tersebut menggunakan aksara Pallawa dan Bahasa Sanskrta. Berdasarkan tinjauan pada bentuk huruf Aksara Pallawa pada yupa, para ahli menyimpulkan bahwa yupa-yupa tersebut dibuat pada sekitar abad ke IV.Setidaknya sejak abad ke IV itulah Bangsa Indonesia telah mengenal bahasa tulis yang terus berkembang mengikuti perkembangan bahasa lisan. Perkembangan ini dimulai terutama sejak bahasa daerah (misalnya Bahasa Melayu Kuno dan Bahasa Jawa Kuno) juga dituangkan dalam bentuk tulisan selain dari Bahasa Sanskerta yang pada masa sebelumnya merupakan satu-satunya bahasa yang lazim dituliskan. Sejak abad XV aksara Nusantara berkembang pesat dengan ditandai beraneka-ragamnya aksara untuk menuliskan berbagai bahasa daerah hingga kemudian peranannya mulai tergeser oleh abjad Arab dan alfabet Latin.Hampir semua aksara daerah di Indonesia merupakan turunan Aksara Pallawa yang berasal dari daerah India Selatan. Aksara Jawi, Aksara Pegon, dan Aksara Bilang-bilang merupakan turunan Abjad Arab, sedangkan Aksara Nagari berasal dari daerah India Utara. Baik Aksara Pallawa maupun Aksara Nagari adalah turunan dari Aksara Brahmi yang merupakan induk semua aksara di Asia Selatan dan Asia Tenggara.

Istilah Aksara Nusantara juga bisa digunakan untuk merangkum aksara-aksara yang digunakan dan berkembang di Kepulauan Filipina. Hampir semua aksara daerah di Filipina merupakan turunan Aksara Kawi (Aksara Jawa Kuno). Aksara-aksara ini meliputi Aksara Baybayin, Aksara Tagbanwa, Aksara Buhid, Aksara Hanunó’o, dan Aksara Kapampangan. Sedangkan Aksara Eskaya merupakan hasil budaya asli Bangsa Filipina.Beberapa aksara daerah dinamai menurut susunan huruf-hurufnya atau menurut nama abecedarium aksara tersebut. Demikianlah maka Aksara Jawa Baru dan Aksara Bali disebut Aksara Hanacaraka; sedangkan Aksara Rejang, Aksara Kerinci, Aksara Lampung, dan Aksara Sunda Baku disebut juga Aksara Kaganga mengikuti abecedarium Aksara Pallawa : ka kha ga gha nga.Ada pendapat sebelum hadir abjad Arab dan Latin sekarang, tulisan yang lazim dipergunakan di kawasan Asia Tenggara (kecuali di Vietnam dan sebagian kalangan penduduk Cina Selatan) diduga sebagian besar dari pengaruh India. Begitu pun halnya yang terjadi di Nusantara. Para sarjana (pribumi dan asing) hampir selalu mengajukan pendapat senada bahwa aksara di Nusantara hadir sejalan dengan berkembangnya unsur (Hindu-Buddha) dari India yang datang dan menetap, melangsungkan kehidupannya dengan menikahi penduduk setempat. Maka sangat wajar, langsung atau tidak langsung disamping mengenalkan budaya dari negeri asalnya sambil mempelajari budaya setempat di lingkungan pemukiman baru, salah satu implikasinya adalah bentuk aksara (de Casparis:1975).Namun sejauh fakta yang ada, pendapat itu tidak disertai penjelasan tuntas hingga pada suatu waktu seorang ahli epigrafi yang berkebangsaan Perancis bernama Louis Charles Damais (1951-55) yang menyatakan bahwa hipotesis para ahli tersebut belum benar-benar menegaskan dari mana dan bagaimana awal kehadiran serta mengalirnya arus kebudayaan India ke Nusantara kecuali diperkirakan tidak hanya berasal dari satu tempat saja, tetapi juga dari berbagai tempat lainnya. Walaupun tidak dipungkiri bahwa aksara-aksara di Nusantara memang menampakkan aliran India Selatan atau aliran India Utara, namun juga cukup rumit dan sulit ditentukan darimana kepastian awalnya sebab meskipun ada pengaruh India, tetapi kebudayaan India tidaklah berperan sepenuhnya terhadap lahirnya aksara di Nusantara khususnya suku bangsa yang menghasilkan sumber tertulis dengan mempergunakan aksara-aksara nasional atau aksara daerah yang tergolong kuno itu.Ada asumsi bahwa kebudayaan India datang ke Nusantara semata karena peran cendekiawan Nusantara sendiri yang telah turut ambil bagian ke kancah pergaulan politik internasional, tetapi tidak berarti bahwa di kala itu bangsa Nusantara belum mengenal aksara sebagai alat melakukan interaksi sosial dengan bangsa-bangsa lain. Wujud ataupun bentuk aksara yang berperan pada periode itu pun sesungguh-sungguhnya merupakan hasil daya cipta cendekiawan lokal yang telah meramu secara selektif unsur-unsur asing dari berbagai aliran yang pada klimaksnya mencapai kesepakatan gaya jenis dan bentuk aksara sesuai kondisi wilayah, budaya. Saat berlangsungnya proses inovasi, masyarakat Nusantara telah mencapai kondisi siap mental, karena itu tatkala inovasi asing (luar) tiba, khususnya dari India, masyarakat Nusantara segera dapat mencerna dan menyesuaikan diri tentu dengan melalui pengetahuan dan pengalaman kebudayaan setempat (Damais 1952; 1955).Sejarah mencatat bahwa aksara tertua di Nusantara (Asia Tenggara umumnya) disebarluaskan seiring dengan menyebarnya agama Buddha. Jenis aksara yang semula dipergunakan untuk menulis ajaran. mantra-mantra suci atau teks-teks dengan jenis aksara yang dipakainya disebut Sidhhamatrika, disingkat Siddham. Tetapi sarjana Belanda lebih menyukai istilah Prenagari (Damais 1995; Sedyawati 1978). Jenis aksara inilah yang kemudian berkembang di Asia Tenggara walaupun hanya terbatas atau terpatri, untuk menulis teks-teks keagamaan pada media tablet, materai atau stupika yang dibuat dari tanah liat (bakar atau terakota) atau dijemur dan dikeringkan matahari. Objek tekstual jenis ini hampir dipastikan tidak atau jarang disertai unsur pertanggalan, karenanya sulit ditentukan periodenya secara tepat. Namun melalui analisis palaeografis yakni perbandingan kemiripan tipe, gaya, bentuk aksara dari zaman ke zaman, maka khusus aksara pada tablet, meterai atau stupika yang ditemukan di Asia Tenggara diperkirakan dari sekitar abad pertama sampai ketiga Masehi. Di Nusantara benda-benda seperti ini ditemukan di Sumatra, Jawa dan Bali dengan menggunakan bahasa Sanskerta.Aksara yang kemudian lebih populer di Nusantara adalah aksara dari (dinasti) Pallava (India Selatan) selanjutnya disebut aksara Pallawa (saja), juga memiliki kecenderungan tidak menyertakan unsur pertanggalan, dijumpai pada prasasti tujuh Yupa (tugu peringatan kurban) kerajaan Kutai (Kalimantan Timur) yang diperkirakan dari tahun 400 Masehi dan sejumlah prasasti dari kerajaan Tarumanagara (Jawa Barat) tahun 450 Masehi.Kedua kerajaan yang cukup jauh letaknya sama-sama mengggunakan aksara Pallawa-Grantha dan bahasa Sanskerta dengan gaya khas inovasinya. Prasasti-prasasti masa Tarumanagara dipahatkan pada batu alam. Khusus prasasti Ciaruteun dan Muara Cianten (Kampung Muara), di tepi sungai Cisadane dan Cibungbulang (Bogor), Jawa Barat, disusun dan ditata dengan metrum (sloka) Sanskerta, ada juga yang berpahatkan pilin, umbi-umbian dan sulur-suluran.
Beberapa sarjana menyebut pahatan pilin, umbi, dan sulur-suluran itu sebagai bentuk aksara khusus yang disebut kru-letters, conch-shell-script atau aksara sangkha.Ragam hias yang kemudian lebih banyak ditemukan sebagai karya asli pribumi khususnya berkembang di beberapa daerah di Sulawesi. Karakter-karakter yang memiliki keistimewaan sebagai hasil daya cipta setempat yang telah sangat tua yang dikembangkan di alam dan lingkungan kebudayaan yang didasari kemapanan kreativitas dan berkembang sesuai kondisinya. Ciri perkembangan inilah yang kemudian menjadi rumit sebab setiap individu atau kelompok masyarakat dari suatu lingkungan kebudayaan memiliki konsep-konsep untuk mengembangkan gaya dan bentuk aksara selanjutnya melahirkan tipe-tipe khas pendukung budaya.Sejak awal kehadirannya aksara-aksara di kawasan Asia Tenggara hadir berkembang pada periode-periode yang hampir sama menunjukkan adanya kemiripan berlangsung hingga abad ke-8 Masehi. Meskipun dalam beberapa hal masih memperlihatkan pengaruh Pallawa seperti gaya aksara masa sesudahnya yang oleh Boechari disebut aksara Pasca-Pallawa, namun hampir di setiap wilayah Asia Tenggara daratan dan kepulauan (Nusantara/Dwipantara) sekurang-kurangnya abad ke-8 Masehi telah berkembang aksara yang pada prinsipnya sama tetapi memiliki corak-corak khusus (tersendiri).Gaya dan jenis aksara sebagian besar mirip aksara pada sejumlah dokumen (sumber) tertulis di Sumatra dan Jawa mempergunakan jenis bahasa pengantar yang dikenal berkembang pada masing-masing daerah pendukung budaya (Malayu Kuno, Jawa Kuno, Sunda Kuno dan Bali Kuno). 

Perubahan Aksara Pallawa (kolom paling kiri) menjadi sejumlah aksara Nusantara. Kolom kedelapan adalah Aksara Jawa Baru (Hanacaraka), kolom kesembilan adalah Aksara Bali, dan kolom paling kanan adalah Aksara Bugis (Lontara).
Beberapa pendapat menyatakan bahwa kemungkinan aksara-aksara yang hadir di Nusantara merupakan perkembangan dari aksara Pallawa namun ciri dan pertaliannya masih belum benar-benar dijelaskan, sebab difrensiasi ciri atas aksara-aksara lokal dan kaitannya kepada Pallawa terlampau jauh. Batas antara gaya aksara yang satu (lebih tua) dengan yang hadir kemudian sulit ditentukan, kemungkinan keduanya berkembang secara hampir bersamaan. Atau gaya yang telah ada kemungkinan tersilih oleh kehadiran gaya dan jenis aksara yang baru, peralihan dan pergantian sesuai perkembangan zaman seperti yang terjadi dengan munculnya aksara Pegon dan Latin. Yang baru telah berkembang lebih meluas sedangkan yang lama berkembang secara lokal saja. Perbedaan tersebut nampak seperti yang kemudian berkembang sebagai aksara Jawa (tengahan atau baru).

SILSILAH AKSARA NUSANTARA



Hasil gambar untuk pertama penemu huruf nusantara

Periodisasi Aksara Nusantara

1. Zaman Kerajaan-Kerajaan Hindu-Budha
Aksara yang berkembang pada zaman kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha pada umumnya digunakan untuk menuliskan Bahasa Sanskerta atau bahasa daerah yang sangat berpengaruh.

Aksara Pallawa
Aksara Nagari
Aksara Kawi (Aksara Jawa Kuna)
Aksara Buda
Aksara Sunda Kuna
Aksara Proto-Sumatera

Zaman Kerajaan-Kerajaan Islam
Aksara yang berkembang pada zaman kerajaan-kerajaan Islam di antaranya memiliki huruf untuk menuliskan bunyi dalam Bahasa Arab yang tidak terdapat dalam bahasa daerah (misalnya Aksara Jawa dan Aksara Bali) ataupun sistem vokalnya mengikuti sistem vokal Abjad Arab yang hanya mengenal tiga bunyi vokal (misalnya Aksara Kerinci dan Aksara Buhid).

Aksara Batak  (Surat Batak)





















Aksara Rejang


















Aksara Kerinci (Surat Incung)







































Aksara Lampung (Had Lappung)







































Aksara Jawa  (Aksara Jawa Baru/Hanacaraka)

















Aksara Bali

















Aksara Lontara
























Aksara Baybayin (Aksara Tagalog)
Aksara Tagbanwa
Aksara Buhid
Aksara Hanunó’o
Aksara Kapampangan
Aksara Eskaya
Zaman Modern
Aksara daerah yang berkembang pada zaman modern memiliki huruf untuk menuliskan bunyi dalam Bahasa Arab (misalnya f dan z) dan Bahasa Latin (misalnya x dan v) yang tidak terdapat dalam bahasa daerah.

Aksara Sunda Baku

Variasi  Seiring perubahan zaman, budaya, dan bahasa masyarakat penggunanya, suatu aksara dapat mengalami perubahan jumlah huruf, bentuk huruf maupun bunyinya, walaupun tetap saja dianggap sebagai bagian dari aksara induknya; atau dengan kata lain, tidak terpecah menjadi aksara baru. Demikianlah misalnya Abjad Arabyang digunakan untuk menuliskan Bahasa Arab sedikit berbeda dengan Abjad Arab yang digunakan untuk menuliskan Bahasa Melayu, atau juga Alfabet Latin yang digunakan untuk menuliskan Bahasa Latin sedikit berbeda dengan Alfabet Latin yang digunakan untuk menuliskan Bahasa Jerman. Dalam perjalanan sejarahnyapun Aksara Nusantara tidak luput dari kecenderungan untuk memunculkan variasi-variasi baru yang tetap mempertahankan kaidah inti aksara induknya.Beberapa variasi Aksara Nusantara antara lain:
Variasi Aksara Kawi  (Aksara Jawa Kuna)

–   Aksara Kayuwangi: Aksara ini merupakan Aksara Kawi yang ditulis dengan bentuk membundar miring. Disebut Aksara Kayuwangi karena variasi ini banyak dijumpai pada prasasti dari sebelum hingga setelah masa pemerintahan Rakai Kayuwangi, Raja Mataram (855 – 885). Oleh para ahli epigrafi Indonesia, variasi ini dianggap sebagai jenis tulisan Kawi yang paling indah.–Aksara Kuadrat: Aksara ini merupakan Aksara Kawi yang ditulis dengan bentuk huruf menyerupai kotak / bujursangkar. Dari situlah variasi ini memperoleh namanya. Variasi ini banyak dijumpai pada prasasti dari masa Kerajaan Kediri dan Kerajaan Singasari.–Aksara Majapahit: Aksara ini merupakan Aksara Kawi yang tiap hurufnya ditulis dengan banyak hiasan sehingga kadang kala sulit dikenali / sulit dibaca. Disebut Aksara Majapahit karena variasi ini banyak dijumpai dari masa Kerajaan Majapahit.
Variasi Aksara Batak

–  Aksara Toba: Variasi ini merupakan Aksara Batak yang digunakan untuk menuliskan Bahasa Toba.– Aksara Karo: Variasi ini merupakan Aksara Batak yang digunakan untuk menuliskan Bahasa Karo.–Aksara Dairi: Variasi ini merupakan Aksara Batak yang digunakan untuk menuliskan Bahasa Dairi.–Aksara Simalungun: Variasi ini merupakan Aksara Batak yang digunakan untuk menuliskan Bahasa Simalungun.– Aksara Mandailing: Variasi ini merupakan Aksara Batak yang digunakan untuk menuliskan Bahasa Mandailing.
Variasi Aksara Lampung/Ulu

–  Aksara Ulu untuk menuliskan dialek Pasemah– Aksara Ulu untuk menuliskan dialek Serawai– Aksara Ulu untuk menuliskan dialek Lembak–Aksara Ulu untuk menuliskan dialek Rejang
Variasi Aksara Jawa

–  Aksara Jawa untuk menuliskan Bahasa Jawa.– Aksara Jawa untuk menuliskan Bahasa Jawa Kuno.– Aksara Jawa untuk menuliskan Bahasa Jawa dialek Banten.–Aksara Jawa untuk menuliskan Bahasa Jawa dialek Cirebon.–Aksara Jawa untuk menuliskan Bahasa Sunda / Aksara Sunda Cacarakan.
Variasi Aksara Bali

–  Aksara Bali untuk menuliskan Bahasa Bali.–Aksara Bali untuk menuliskan Bahasa Bali Kuno.–Aksara Bali untuk menuliskan Bahasa Sasak.
Variasi Aksara Lontara

– Aksara Jangang-jangang : Variasi dengan bentuk-bentuk huruf tersendiri untuk menuliskan Bahasa Makassar.– Aksara Bilang-bilang : Variasi dengan bentuk-bentuk tersendiri untuk menuliskan Bahasa Bugis.– Aksara Lota Ende : Variasi dengan bentuk-bentuk huruf tersendiri untuk menuliskan Bahasa Ende.–Aksara Makassar : Variasi ini merupakan Aksara Lontara yang digunakan untuk menuliskan Bahasa Makassar.– Aksara Bugis : Variasi ini merupakan Aksara Lontara yang digunakan untuk menuliskan Bahasa Bugis.–Aksara Lontara yang digunakan untuk menuliskan Bahasa Luwu.–Aksara Lontara yang digunakan untuk menuliskan Bahasa Bima. 
Aksara Lain yang Digunakan di Nusantara 
Abjad Arab

– Aksara Jawi untuk Bahasa Melayu– Aksara Pegon untuk Bahasa Jawa dan Bahasa Sunda
Alfabet Latin
–   Ejaan Van Ophuijsen–Ejaan Soewandi–EYD Hanzi

https://sanrawijaya.wordpress.com/t...
https://www.facebook.com/notes/arapuzo/aksara-nusantara/1129956543786792